Kakawin Negarakertagama

Kakawin Nagarakretagama (Nāgarakṛtâgama) (aksara Jawa: ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ ꦤꦴꦒꦫꦏ꧀ꦉꦠꦴꦒꦩ) , (aksara BaliKakawin Nagarakrtagama-aksara Bali.png) atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana (Deśawarṇana) (aksara Jawa :ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ ꦢꦺꦯꦮꦂꦟ꧀ꦤꦤ), (aksara Bali: Kakawin Desawarnana-aksara Bali.png) bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuno karya Empu Prapañca yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit. Dia adalah putera dari seorang pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana.[1] Hingga sekarang umumnya diketahui bahwa pujangga "Mpu Prapanca" adalah penulis Nagarakretagama.
Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wurukraja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah "wilayahkerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti.
Nagarakretagama ditulis dalam bentuk kakawin (syair) Jawakuna. Tiap kakawin terdiri dari empat baris, disebut pada. Tiap barisnya terdiri dari delapan hingga 24 suku-kata, disebut matra. Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh, dibagi dalam dua bagian, yang masing-masing terdiri dari 49 pupuh.[1] Tiap pupuh terdiri dari antara satu hingga sepuluh pada. Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi.
Bagian pertama 49 pupuh, dari pupuh 1 sampai 49, dengan rincian:[1]
  • 7 pupuh tentang raja dan keluarganya (pupuh 1–7)
  • 9 pupuh tentang kota dan wilayah Majapahit (pupuh 8–16)
  • 23 pupuh tentang perjalanan keliling Lumajang (pupuh 17–39)
  • 10 pupuh tentang silsilah raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk (pupuh 40–44)
Bagian kedua 49 pupuh, dari pupuh 50 sampai 98, dengan rincian:
  • 10 pupuh tentang perjalanan Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa (pupuh 50–59)
  • 23 pupuh tentang oleh-oleh dari pelbagai daerah yang dikunjungi, perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada, dan tentang berita kematian Patih Gajah Mada (pupuh 60–82)
  • 9 pupuh tentang upacara keagamaan berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan (pupuh 83–91)
  • 7 pupuh tentang pujangga yang setia kepada raja (pupuh 92–98)[1]
Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri merupakan nama pena, nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena bersifat pujasastra, hanya hal-hal yang baik yang dituliskan, hal-hal yang kurang memberikan sumbangan bagi kewibawaan Majapahit, meskipun mungkin diketahui oleh sang pujangga, dilewatkan begitu saja. Karena hal inilah peristiwa Pasunda Bubattidak disebutkan dalam Negarakretagama, meskipun itu adalah peristiwa bersejarah, karena insiden itu menyakiti hati Hayam Wuruk. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara pihak Negarakretagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit.
Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.L.A. Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagarakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombokyang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Naskah Nagarakretagama disimpan di Leiden dan diberi nomor kode L Or 5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana, Belanda ke Indonesia pada tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia. Konon naskah ini langsung disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumahnya, namun ini tidak benar. Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9.
Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.

Comments

Popular Posts