Situs Trowulan


Trowulan
Kompleks Peninggalan Kerajaan Majapahit
Bajang Ratu Gate Trowulan.jpg
Gapura Bajang Ratu, salah satu penciri utama Situs Trowulan
Situs Trowulan berlokasi di Jawa
Situs Trowulan
Lokasi di Pulau Jawa
Informasi umum
Gaya arsitekturkompleks pemukiman
KotaKabupaten MojokertoJawa Timur
Negara Indonesia
Koordinat7,48°LS 112,37°BT
Selesaiabad XIV - XV
KlienMajapahit
Situs Trowulan adalah kawasan kepurbakalaan dari periode klasik sejarah Indonesia yang berada di Kecamatan TrowulanKabupaten MojokertoJawa Timur. Berbagai temuan-temuan yang diangkat di sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman yang cukup maju. Berdasarkan kronikprasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar kawasan tersebut, diduga kuat situs ini berhubungan dengan Kerajaan Majapahit.
Kawasan berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) mencakup wilayah sekitar 5 km × 5 km, dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang dan Surabaya. Namun demikian, temuan-temuan yang terpendam diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih luas, dengan ukuran 11 km × 9 km[1], sehingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang.
Situs Trowulan telah didaftarkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.
Nama "Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini[2]. Pendapat yang pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont, adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab perjalanan dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng HoMa Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i (Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim[3]. Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan kuat keterkaitan ini. 

Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candidari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.

Candi Tikus

Kolam pemandian Candi Tikus

Gapura Bajang Ratu

Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.

Gapura Wringin Lawang

Wringin Lawang, gapura di Trowulan, Mojokerto




Candi Brahu

Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.

Makam Putri Cempa

Makam Putri Campa di Trowulan (foto diambil pada tahun 1870-1900)
Makam Putri Cempa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam. [4]

Kolam Segaran

Kolam Segaran
.
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.

Candi Menak Jingga

Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.

Situs Watu Umpak

Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.

Makam Troloyo

Di kompleks Makam Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tetapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini

Comments

Popular Posts